Meniti Jejak Masa Kecil (8)
~~Rika. Nur Hidayati~~
#Day8
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
Kisah
ini masih seputar masa kecilku di Rotowijayan, maka aku akan banyak mengupas
kejadian-kejadian di masa aku sekolah TK sampai dengan kelas empat ketika
pindah ke Kuncen.
Di
rumah aku dikenal sebagai anak yang penakut sama dokter. Aku takut disuntik dan
takut dicabut gigiku. Kenapa bisa seperti itu. Kalau takut disuntik aku sudah
lupa kenapa, tapi kalau takut dokter gigi, ada cerita lucunya. Jadi ingat,
kasian Bapak yang berulang kali membawaku ke dokter gigi.
Kejadiannya
sewaktu kami berkunjung ke rumah Simbah di Kleben, Kuncen. Rumah Simbah di
halamannya di bangun musala yang sekarang sudah menjadi masjid. Simbah kakung
yang waktu itu membuat musala. Otomatis, musala menjadi tempat ramai anak-anak
mengaji maupun bermain. Mereka diajar mengaji oleh Simbah Kakung.
Waktu
itu, aku masih kecil, mungkin masih TK atau SD kelas satu. Gigiku ada yang
goyang, kalau nggak salah gigi susu bawah depan. Tapi aku lupa tengah atau
kanan atau kiri. Nah, Simbah Kakung sudah terbiasa mencabut gigi anak-anaknya,
jadi begitu tahu gigiku goyang ya segera beraksi bak dokter gigi.
Bapak
dan Ibu menyuruhku untuk manut sama Simbah. Mungkin, karena Ibu sudah terbiasa
dicabut giginya sama Simbah. Bapak juga pernah kalau nggak salah mencabut gigi
dengan benang, tapi aku nggak ingat, itu sebelum kejadian ini atau sesudahnya.
“Kene
Nok, nggak sakit kok, Simbah cabut ya?” kata Mbah Kakung sambil mengajakku
keluar rumah. Di teras depan rumah saat itu sedang banyak anak-anak bermain.
Aku
manut saja, padahal dalam hati sebenarnya aku takut sekali. Takut sakit ketika
dicabut.
“Mung
koyo dicokot semut kok, Nok,” Simbah berkata lagi. Bapak mengikuti dan
menemaniku keluar.
Anak-anak
yang sedang bermain di halaman, tiba-tiba berhenti dan hendak melihat aksi sang
dokter gigi dadakan tersebut, Simbahku!
“Bismiilah,”
Simbah segera melakukan aksinya mencabut gigiku dengan tangannya sekuat tenaga.
Tanganku dipegangi Bapak dan Simbah, seperti mau menyembelih ayam. Hihihi.
Aku
sudah takut duluan, dan ternyata seingatku sakit sekali. Mungkin akarnya masih
kuat, jadi aku menangis keras-keras.
Aku
menangis saat dicabut gigiku, dengan diiringi pandangan takut dan ketawa
anak-anak sekitar rumah yang sedang bermain itu.
“Wis,
Nok, sudah tercabut ini,” kata Simbah sambil memperlihatkan gigi susuku yang
masih berdarah. Aku masih meneruskan tangisku, kemudian diberi minum dan
kumur-kumur.
Semenjak
itu, aku selalu takut ke dokter gigi. Trauma, bahkan ingatan dicabut gigi oleh
Simbah Kakung masih samar-samar terbayang.
Karena
sedang masanya gigi mulai goyang dan akan diganti dengan gigi yang baru, ya periode
tertentu aku harus dicabut gigiku. Adik-adikku tentu lain, mereka laki-laki dan
lebih pemberani. Dan aku nggak ingat, apakah mereka juga ada dicabut giginya
sama Simbah atau tidak.
“Mbak
Ika, nanti sore jadi ke dokter gigi ya,” kata Bapak kepadaku. Aku yang sedang
asyik bermain, hanya diam saja, tidak menjawab. Sebenarnya, aku takut mau
dibawa Bapak ke dokter gigi. Tapi, aku lebih takut lagi kalau dicabut gigiku
oleh Simbah.
“Kalau
terlambat, nanti giginya yang baru keburu tumbuh, sundulen,” kata Bapak lagi.
Akhirnya aku ya manut saja.
Dokter
giginya praktek di jalan Kauman. Kalau dari jalan Rotowijayan arah Alun-alun
Utara, tinggal keluar ke jalan barat alun-alun. Kalau dari jalan Rotowijayan
kea rah jalan Ngasem, tinggal belok kanan di perempatan Gerjen.
Selama
mengantri, aku diam saja. Bapak menghiburku, katanya nggak akan sakit. Nanti
kan disuntik dengan penghilang rasa sakit. Makin kecut hatiku, duh.
Tibalah
giliranku. Sewaktu masuk ke ruangan dokter gigi, aku diminta duduk di tempat
duduk yang khusus untuk pasien. Aku manut. Diterangi oleh lampu diatasnya,
dokter meminta aku untuk membuka mulut. Aku hanya diam, mengatupkan bibirku.
Aku ketakutan, nggak mau buka mulut.
“Mbak
Ika,” kata Bapak dengan lembut. Tetap saja tidak mempan, bibirku tak sedikitpun
terbuka. Setelah sekian waktu. Bapak dan dokter gigi tidak mampu membujukku.
Akhirnya, aku dan Bapak pulang dengan gigi goyang yang masih utuh melekat di
rongga mulutku. Kejadian seperti ini selalu terulang dua tiga kali setiap kali
aku ke dokter gigi. Tapi seingatku, Bapak cukup sabar terhadapku dan akan
membawaku lagi ke dokter gigi sampai berhasil mencabut gigiku yang goyang.
Hehehe, lucu kalau sekarang mengingatnya.
Hari
ini, tanggal 8 Juni 2020, tanggal istimewa buatku. Karena hari ini adalah
tanggal lahir Bapak rahimahullah. Beliau telah tiada pada tahun 2006. Mengenang
Bapak, akan panjang pena tertulis untuk beliau. Aku sangat dekat dengan Bapak.
Kebetulan karena aku anak tertua dan Bapak banyak mendelegasikan banyak hal
kepadaku, dibandingkan kepada adik-adikku.
Semoga
Allah memberikan surga firdaus, tempat
terindah untuk Bapakku, mengampuni dosa-dosanya dan menerima amal pahalanya.
Aaamiin. Miss you so much, Bapak.
(Bersambung)
0 Komentar