Meniti Jejak Masa Kecil (10)

~~Rika. Nur Hidayati~~

#Day10

#NarasiLiterasiNegeri

#IndonesiaMenulis

#TantanganMenulis45Hari

#Artsamawa

 

Bapak dan Ibu dalam mendidik kami anak-anaknya dengan perpaduan dua sifat yang saling mengisi. Bapak sangat protektif dan keras suaranya kepada kami, sementara Ibu lebih kalem dan lembut. Meskipun demikian, Bapak hanya bersuara saja, sejatinya Bapak orangnya sangat lembut dan perasa, serta tidak pernah memaksakan kehendak. Sementara Ibu, lebih banyak menuruti apa yang Bapak inginkan. Walaupun seiring waktu aku semakin memahami, betapa Ibuku adalah wanita sekuat baja yang luar biasa. Dari luar nampak kelembutannya, di dalamnya begitu kuat dan tegar.

Seperti kasusku ke dokter gigi. Bapak tidak pernah memarahiku ketika aku tidak mau membuka mulut untuk dicabut gigiku. Akan tetapi dengan kesabarannya, akhirnya berhasil juga gigiku dicabut oleh pak Dokter Gigi. Hehehe, aku selalu tersenyum-senyum sendiri mengingat kelakuanku di masa kecil.

 Yang tidak kesampaian adalah, keinginan Bapak untuk memperbaiki gigi kelinciku. Kata Bapak, besok kalau sudah agak besar gigiku dikawat atau dibehel kalau istilah yang ngetop zaman sekarang. Aku hanya diam saja kalau Bapak sudah membicarakan soal gigi kelinciku.

Aku memang berusaha seminimal mungkin pergi  ke dokter gigi. Yang terjadi adalah, aku tetap takut ke dokter gigi sampai besar. Setiap ke dokter gigi, pasti air mataku sudah meleleh lebih dulu. Setelah besar, Ibu yang lebih banyak menungguiku ke dokter gigi dan membesarkan hatiku ketika pergi ke dokter gigi.

Kejadian juga, sudah kuliah, ternyata aku masih mempunyai gigi susu yang harus dicabut dan gigi barunya sudah nongol. Ada juga yang berlubang dan harus ditambal. Mau tidak mau harus ada perlakuan untuk kesehatan gigiku. Meskipun sebenarnya, hatiku menggigil ketakutan. Sampai aku besar dan akhirnya merantau ke Sumatera, aku tidak lagi punya keinginan memperbaiki gigiku. Alhamdulillah aku syukuri saja, toh tidak mengganggu kesehatanku.

Sama halnya dengan ke dokter umum, aku penakut juga. Setiap aku sakit, harus ada drama ketika mau pergi ke dokter. Di cerita sebelumnya, aku pernah menggigit lengan Om Jito adik Bapak, gara-gara tidak mau pergi ke dokter. Untung Om Jito memakai jaket, jadi nggak begitu sakit lengannya.

Sebenarnya, aku takutnya ke dokter itu karena takut disuntik. Zaman dahulu, setiap ke dokter karena sakit pasti salah satu obatnya dengan suntik.

Pernah, aku sakit dan dibawa ke dokter anak, Profesor Dokter Ismangoen namanya. Beliau adalah dokter anak yang sangat terkenal di kota Yogya pada waktu itu. Prof Ismangoen orang memanggilnya. Orangnya tinggi besar, sudah tua, tapi baik kepada anak-anak. Waktu itu beliau praktek dokternya di Ndalem Ngabean dekat Alun-Alun Selatan, dekat dengan rumah Eyang di Langenastran.

Tempat praktek dokter Ismangoen  selalu ramai, baik ramai oleh pasien dan orang tuanya, ramai juga oleh pedagang-pedagang yang menjajakan mainan, balon maupun makanan dan minuman seperti bakpao, kacang rebus, dan wedang ronde.

Hari sudah malam, sekitar pukul 20.00 wib, kami masih antri.

“Itu lihat, masih kecil-kecil pada berani kan? Nggak ada yang menangis,” kata Ibu sambil membelai rambutku.

“Mbak Ika kan sudah besar, berani juga kan?” timpal Bapak tersenyum.

Aku yang sedari tadi duduk terdiam, hanya melihat beberapa anak yang keluar dari tempat praktek dokter. Memang tidak ada yang menangis. Badanku yang demam ditambah meriang tidak karuan, batuk pilek juga, membuatku tidak berselera untuk menanggapi perkataan Bapak dan Ibu. Aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa takut yang mulai merayap.

Tiba giliranku untuk diperiksa. Setelah masuk ke ruang dokter, diperiksa dan ditanya beberapa pertanyaan. Dokter Ismangoen memeriksa sambil bercanda, beliau sangat paham bagaimana memeriksa seorang bocah. Apalagi yang kelihatan ketakutan sepertiku. Kemudian asisten dokter menyiapkan suntikan. Bapak dan Ibuku membesarkan hatiku.

“Nggak apa-apa, nggak sakit kok,” kata dokter Ismangoen.

Aku yang terbaring hanya memejamkan mata sambil memegang tangan ibu. Ya ampuun, aku semakin lemas, keluar keringat dinginku.  Air mataku meleleh.

“Nah, sudah selesai,” dokter Ismangoen mencandaiku.

Aku yang ketakutan berusaha bangun. Tapi badanku terasa lemas sekali, aku nggak sanggup bangun. Dokter Ismangoen kaget, dikiranya aku alergi dengan obat yang disuntikkan. Bapak menjelaskan , kalau sebenarnya aku takut disuntik.

Aku sudah lupa apa yang dibicarakan dengan dokter. Yang jelas kejadiannya, aku malah disuntik lagi, dan menangis lagi. Duuh, kalau diingatin itu sama Ibu, ketawa terbahak-bahak. Maunya jangan disuntik, tapi malahan dua kali disuntik.

Dokter Ismangoen, akhirnya mempunyai Klinik yang cukup besar di jalan Patangpuluhan, dibantu oleh anaknya yang juga menjadi dokter. Klinik tersebut berada sekitar depan rumah teman SMAku, Aan Yuniastuti. Sampai sekarang, aku masih sangat ingat wajah dan perawakan dokter Ismangoen. Aku takkan pernah melupakan beliau, dokter yang turut mewarnai hidupku.

 

(Bersambung)