Meniti Jejak Masa Kecil (11)
~~Rika. Nur Hidayati~~
#Day11
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
Bapak
dan ibu, mengajarkan hidup sederhana kepada kami. Bapak tidak pernah gengsi
membelikan kami barang-barang yang murah. Yang penting bermanfaat dan bisa
digunakan.
Aku
termasuk anak yang boros dengan sepatu, karena hobbyku yang banyak berlari
dalam melakukan aktivitas apapun. Bapak sering bercanda, aku akan dibelikan
sepatu kuda, karena mudahnya sepatuku rusak.
“Mbak
Ika, besok dibelikan sepatu kuda saja ya? Mosok sepatu baru dua bulan sudah
rusak. Mbok diawet-awet, Nok. Jangan lari-lari terus!” Bapak mengatakan itu
sambil tertawa, antara geli dan kesal.
Bapak
lebih memilih aku membeli sepatu sesuai kebutuhanku, dan bukan sepatu yang
mahal, meskipun sebenarnya lebih awet. Kalau aku dibelikan sepatu yang mahal,
mungkin lebih awet, nggak gampang rusak.
Pernah,
aku dan Bapak membeli sepatu di pinggir jalan Malioboro. Harganya sangat murah,
jadi Bapak memperbolehkan aku membeli dua pasang, Aku masih ingat model dan
warna sepatunya, dan aku juga tidak malu memakainya, meskipun sepatu tersebut
memang terlihat murah.
Sebagai
anak, aku merasa beruntung dengan semua hal yang telah Bapak ajarkan. Secara
keilmuan, Bapak sangat peduli dengan sekolah kami. Tugas Bapak sebagai Dosen
yang lumayan sibuk, tidak menjadikan kami anak-anaknya lepas dari pengajaran
beliau.
“Bapak
hanya bisa mewarisi kalian dengan ilmu, Bapak tidak punya harta. Makanya kalian
anak-anak Bapak harus rajin belajar, itu menjadi bekal di waktu besar nanti ,”
Bapak berkata sambil mengoreksi hasil ujian mahasiswanya.
Apa
yang Bapak sampaikan sangat mendalam sampai ke lubuk hatiku. Aku bertekad akan
membuat Bapak dan Ibu senang dan bahagia. Aku begitu mengagumi Bapak dan ingin
seperti Bapak. Dulu, aku bercita-cita ingin menjadi dosen seperti Bapak.
Seiring waktu, ternyata aku menyadari kemampuanku. Cita-citaku bergeser menjadi
apapun yang bisa membuat Bapak Ibu bahagia. Ini akan menjadi cerita tersendiri
nantinya.
Selain
mengajar di IKIP Yogya, Bapak juga mengajar di Universitas swasta yang sebagian
mahasiswanya orang-orang yang telah bekerja. Bapak seorang yang idealis, tidak
mudah bagi mahasiswanya bisa lulus mata kuliah yang diajarkan Bapak. Kadang
kasian juga melihat hasil ujian mahasiswa Bapak yang kuliah sambil
bekerja. Aku tahu karena sering membantu
Bapak kalau soal ujiannya yang pilihan. Tetapi Bapak juga baik hati, kalau
nilainya D sudah mendekati C, maka akan Bapak naikkan menjadi nilai C.
Bapak
juga sangat tegas dan disiplin memastikan kami salat fardu. Anak-anak Bapak
diajarin untuk menjadi seorang Muslim yang baik sedari kecil. Bapak juga
mengajari kami salat dan membaca Alquran. Memang, sebagai orang tua dulu dan
sekarang, berbeda dalam mengajari pendidikan agama bagi anak-anaknya. Zaman
dulu belum banyak sekolah Islam Terpadu, kecuali sekolah-sekolah
Muhammadiyah.
Sementara
aku, belajar mengajinya di Langenastran dengan adik sepupuku Evi. Yang
mengajari juga Omku, adik Bapak, yaitu Om Tono dan teman-temannya di Masjid
Langenastran, samping Alun-alun Selatan. Nama masjidnya kalau tidak salah
Masjid Margoyuwono. Adik-adikku belum ikut waktu itu, mungkin masih terlalu kecil.
Waktu itupun aku masih kelas tiga atau empat SD sebelum pindah ke Kuncen.
Om
Tono bahkan mengajari anak-anak yang mengaji dengan pelajaran Bahasa Inggris
juga, di ruangan di samping masjid. Sisa kenangan yang kuingat adalah lagu Twinkle twinkle little star. Hehehe.
Aku
juga mengikuti kegiatan Ramadhan dan malam takbiran di Langenastran bersama
anak-anak Langenastran. Di malam takbiran, diadakan lomba takbiran dan baris
berbaris se Kecamatan Keraton. Latihannya waktu itu di Siti Hinggil Alun-alun
Selatan dan dilakukan pagi-pagi terang sehabis subuh. Tapi aku tidak ingat,
menang atau kalah waktu itu.
(Bersambung)
0 Komentar