Meniti Jejak Masa Kecil (2)
~~Rika. Nur Hidayati~~
#Day2
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
Sebelum
melanjutkan cerita masa kecilku, aku ingin bercerita dulu tentang kampung
Rotowijayan yang menjadi salah satu kampung yang ada di kota Yogyakarta.
Kampung
Rotowijayan saat ini semakin dikenal sebagai kampung wisata. Di sepanjang jalan
Rotowijayan banyak berdiri toko souvenir kaos dan cinderamata serta toko batik yang
menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam dan luar negeri.
Letaknya yang berdekatan dengan Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, menjadi nilai lebih kampung tersebut. Di dekat
gerbang Keraton ada Masjid Rotowijayan yang unik yang selalu ramai oleh para
wisatawan yang berkunjung ke Keraton. Dulu, aku pernah melakukan salat tarawih
di masjid tersebut. Di depan masjid ada tugu jam besar kuno yang berdiri megah
sebelum masuk ke Keraton.
Di kampung Rotowijayan juga memiliki Ndalem,
yaitu tempat tinggal para pangeran dari Keraton Ngyogyakarta Hadiningrat. Saat
ini ada tiga Ndalem, yaitu Ndalem
Joyokusuman, Ndalem Purbonegaran dan Ndalem Benawan.
Nama-nama
kampung di kota Yogyakarta memang disesuaikan berdasarkan nama-nama pangeran
dan bangsawan, berdasarkan keahlian abdi
dalem, dan berdasarkan tempat tinggal abdi dalem dari Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Ada sekitar 97 kampung seluruh kota Yogyakarta yang nama
kampungnya berdasarkan tiga kriteria tersebut.
Kampung
Rotowijayan dulu adalah tempat tinggal para abdi dalem sais, yaitu ahli membuat
kereta keraton. Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, di jalan Rotowijayan
sebelum Keraton kalau dari arah Alun-alun Utara, terdapat museum kereta Keraton
Jogjakarta. Museum kereta Keraton menjadi satu paket wisata dengan keberadaan
Keraton Ngayogyakarta.
Kembali
ke sudut rumah di Rotowijayan 15. Sekarang rumah itu sudah berubah, meskipun di
dalamnya masih dipertahankan keasliannya. Anganku kembali ke masa silam. Masih
tersisa tanaman-tanaman palem yang apik tertanam di dalam pot guci berwarna
putih biru.
Tanaman
palem, lupa aku tuliskan. Palem itu, menjadi tanaman kesayangan ibu. Waktu kami
pindah rumah ke Kuncen, ibu membawa bonggolnya dan masih tersisa daunnya untuk
ditanam di rumah kami yang baru. Tanaman itu berdiri kokoh di depan rumah,
sampai menjadi besar karena langsung ditanam di tanah.
Ingatanku
melayang melihat tiang besi di dalam rumah ini. Terbayang dulu, menaiki sampai
hampir pucuk plafon, kemudian meluncur turun. Tidak ada terbayang rasa takut,
yang ada hanya senang dan gembira bermain. Tiang besi itu dicat warna kuning, sering
kami gunakan untuk bermain lompatan. Tali yang dibuat dari karet gelang yang
direnteng memanjang, sehingga bisa digunakan untuk bermain lompat tali.
Suatu
kebanggaan kalau tali yang diikatkan pada tiang itu makin lama semakin tinggi.
Itu artinya, bisa melompati tali setinggi mungkin dengan ibu jari sebagai
pengait. Dan aku lumayan jago pada saat itu. Hehehe.
Selain
itu, kami main pasaran dengan bunga pohon pacar. Pohon pacar ini bunganya
bertangkai seperti bulir-bulir pasir agak besar. Warnanya kuning muda, cantik
sekali. Kalau sedang berbunga, seluruh tanahnya dipenuhin oleh butiran bunga
pacar. Sampai sekarang, aku belum menemukan lagi pohon tersebut. Menurutku sih,
sudah termasuk pohon yang langka. Kemungkinan masih tumbuh di dalam Keraton dan
di rumah-rumah lawas di Yogyakarta.
Kadang-kadang,
aku mencari bunga dari pohon Keben. Pohon Keben ini tumbuhnya di lingkungan
Keraton. Kami sering mencari di halaman Keraton pagi-pagi sekali. Bentuknya
besar seperti putik tapi panjang dan halus. Buahnya lebih dari segenggaman
tangan dan keras. Di rumah, bunga keben bisa dibuat mainan dengan bunga pohon
pacar. Asyik sekali!
Permainan
lain yang tak kalah menarik adalah petak umpet. Kami lari memutar rumah dari
depan ke samping, lewat belakang, masuk
ke depan lagi. Luar biasa seru, kebayang kan rumahnya seluas apa. Memang
permainan anak-anak jaman dahulu ternyata lebih kreatif dan sehat.
Kadang-kadang kami bermain sampai ke samping rumah yang ada gang masuknya
menuju rumah batik Luwes-luwes dan sekitarnya. Aku beberapa kali main ke
rumahnya yang produsen batik. Melihat sepintas proses pembuatan batik.
Kebetulan
Emerita, anak pemilik rumah batik juga menjadi kawan sekolah di TK, SD dan SMP.
Meskipun, dia SD Keputran IV, sementara aku SD Keputran I. Sampai sekarang,
kami masih ngumpul di group SMP 5 Yogyakarta, dan dia sudah menjadi owner Luwes
Putra di jalan Parangtritis.
(Bersambung)
0 Komentar