Meniti Jejak Masa Kecil (4)
~~Rika. Nur Hidayati~~

#Day4
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa

Sekolahku SD letaknya di samping Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, makanya kami setiap hari berangkat dan pulang sekolah melewati Kraton. Sesuai selera dan jiwa petualangan kami sebagai anak-anak, kadang melewati Keben, yang langsung tembus Musikanan atau Kemitbumen di bagian timur Keraton, atau lewat jalan Rotowijayan depan Museum Kereta Keraton dan menyusuri pinggiran Keraton dan Alun-alun Utara.
Musikanan seperti halnya Rotowijayan adalah nama kampung tempat abdi dalem musik, pemain musik gesek dan tiup. Lokasinya di belakang persis sekolah kami, yaitu di tenggara atau pojokan Alun-alun Utara. Jadi kalau lewat Musikanan, kami memutar masuk kampung dan keluarnya disamping Keraton persis, baru ketemu sekolahnya. Musikanan menjadi jalan pintas bagi teman-teman sekolah yang tinggalnya di daerah Kemitbumen, Panembahan, Suryoputran, Mijilan, dan sekitarnya.
Kemitbumen dulu adalah nama kampung tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menjaga kebersihan halaman Keraton. Letaknya disamping timur jalan masuk ke Keraton. Kalau dulu dibuka untuk umum, lewat dari arah Rotowijayan ke Kemitbumen. Sekarang sepertinya sudah ditutup, jadi nggak bisa lewat lagi kesana.
 Dahulu, Alun-alun Utara tengahnya ada dipotong dengan jalan beraspal lurus dari arah utara ujungnya Malioboro sampai ke depan Keraton. Ke kiri arah sekolahku SD Keputran. Sementara ke kanan ke arah Pracimosono dan jalan Rotowijayan. Setelah diadakan renovasi Keraton, pagar Keraton maju menutup jalan lurus ke utara menjadi bagian dari alun-alun langsung dan menutup juga jalan ke sekolahku. Aku lupa kapan direnovasi, waktu masih sekolah SD atau setelahnya.
Peristiwa yang tak terlupakan adalah ketika ada teman yang terluka saat jam istirahat. Ceritanya, di waktu kelas empat kami masuk siang, karena sekolah direnovasi. Waktu jam istirahat, kami bermain kasti di halaman SD Keputran. Halaman yang luas dengan pohon beringin raksasa yang cukup tua usianya, langsung berbatasan dengan jalan di pinggir Alun-Alun.
Nah, lagi asyik-asyiknya main, bola kasti masuk ke dalam halaman Keraton. Keraton dibatasi dengan pagar warna hijau, dengan besi-besi yang pucuknya tajam berbentuk seperti tombak. Temanku bernama Iskandar, memanjat pagar Keraton lewat temboknya setinggi dada orang dan lebar hanya sekitar dua puluh centimeter. Ternyata, sewaktu kaki Iskandar menginjak tembok, tiba-tiba temboknya ambrol dan badannya sudah setengah naik tergantung di pagar.
“Aduh, tolong,” tiba-tiba Iskandar berteriak kesakitan.
Kami yang sedang menunggu dia mengambil bola seketika kaget dan berlari mendekati Iskandar. Jarak kami sekitar sepuluh meter dari pagar Keraton.
“Astaghfirullah, Iskandar tertusuk pagar!” temanku Yusi berteriak.
“Cepat. bantu turunkan!” teriak salah seorang dari kami. Kami ketakutan, darah mengalir membasahi baju seragamnya. Wajahnya pucat dan air matanya mengalir. Iskandar yang pemberani, menangis, sambil memegangi perutnya.
Beberapa anak laki-laki cepat mengangkat Iskandar dari pagar tersebut, dan membawanya masuk ke area pagar sekolah. Anak-anak lain berhamburan ketakutan melihatnya.
Bapak Wahirman, wali kelas kami dan salah seorang guru lain, aku lupa siapa, langsung mengangkat Iskandar dan membawanya ke rumah sakit PKU Muhammadiyah. Lokasi rumah sakit di jalan KH. Dahlan.  Rumah sakit PKU tidak jauh dari air mancur di ujung jalan Malioboro.
Alhamdulillah, lukanya Iskandar tidak terlalu parah. Dia tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Sementara kami teman-temannya, semenjak itu tidak berani lagi bermain-main memanjat pagar Keraton. Selain dilarang oleh bapak Guru, kami juga ketakutan mengingat peristiwa itu.

(Bersambung)