Meniti Jejak Masa Kecil (6)
~~Rika. Nur Hidayati~~
#Day6
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
Aku
adalah anak tertua yang mempunyai dua adik laki-laki, Agus dan Alev. Selisih
kami tidak jauh, aku dan Agus selisih lima belas bulan. Sementara Agus dan Alev
selisih sembilan belas bulan. Jadi, dengan jarak umur kami yang berdekatan, aku
paham sekali setelah menjadi seorang ibu, betapa lelah dan repotnya ibuku.
Dengan
umur yang berdekatan, maka ternyata ibuku hanya memberi ASI selama 7 bulan
untukku, karena sudah adikku sebulan di perut. Kadang-kadang kalau bercanda,
aku sampaikan ke ibu, ya jadinya seperti inilah, ASI nya kurang. Hehehe
Ketika
kami pindah ke Rotowijayan tahun 1972, aku masuk TK Ukhuwah Islamiyah yang
berlokasi di sekitar belakang Museum Kereta. Teman-temanku tinggalnya ya
sekitar Rotowijayan, Kauman, Ngasem dan Gerjen. Sewaktu kelulusan TK untuk
masuk SD, ternyata aku nggak termasuk. Masih harus TK lagi, kata ibu. Alhasil
pada umur 7 tahun aku baru SD. Padahal, aku masuk TK mulai dari di Langenastran
dari umur sebelum 4 tahun. Lha, 3 tahun sekolah TK. Zaman kecil dulu ya mana
aku tahu. Jadi waktu itu, aku sempat iri pada teman-temanku yang sudah SD kelas
1, sementara aku masih sekolah TK terus. Kata bapak ibu, aku disayang sama bu
Guru. Hehehe.
Menjadi
anak perempuan paling besar dan mempunyai dua adik laki-laki itu banyak
keunikan dan keseruannya. Sebagai anak paling besar, aku terbiasa banyak
mendapat limpahan tanggung jawab untuk menjaga kedua adikku. Sewaktu masih
tinggal di rumah Eyang di Langenastran, belum begitu terasa. Di samping masih
banyak yang menjaga dan mengurusi kami, waktu itu kami masih balita semua.
Bapak
rahimahullah bekerja sebagai dosen di IKIP Jogja, sekarang UNY. Sementara ibu
sebagai ibu rumah tangga yang juga membantu simbah putri berjualan beras di
pasar Beringharjo bersama Bulik juga.. Waktu itu pasar Beringharjo belum
dipugar bertingkat seperti sekarang. Warung simbah letaknya sekitar
belakang-belakangan dengan Shopping Centre. Larisnya, Alhamdulillah. Lain waktu
akan kuceritakan bagaimana kadang-kadang aku membantu simbah berjualan di pasar. Jadi, sebenarnya aku juga
ada turunan pedagang lho. Oalaah , pantesan sukanya jualan saja. Sudah-sudah,
lanjutkan dulu.
Jadi,
biasanya ibu berangkat ke pasar setelah jam 10.00 pagi atau setelah waktu duhur.
Aku dan adik-adik biasanya dikasih uang
jajan sama ibu, masing-masing sebanyak seringgit. Seringgit itu kalau
setengahnya dari lima rupiah. Uang jajan sebanyak itu kami belanjakan ke warung
Bude yang menempati rumah sebelah kanan atau ke warung sebelahnya lagi yang
menjual minuman temulawak. Wah, senangnya kalau sudah bisa jajan. Tapi aku lupa
jajanan apa, yang aku ingat hanya permen dan temulawak atau apalah minuman
warnanya oranye.
Biasanya
ibu pulang dijemput Bapak atau naik becak. Ibu nggak berani naik motor sendiri,
karena sewaktu belajar pernah menabrak pagar depan rumah Rotowijayan. Lagian,
motornya hanya satu yang dipakai Bapak pergi mengajar. Dari Rotowijayan ke
Gejayan lumayan jauh.
Kalau
ibu pulang dari pasar, maka pasti membawa oleh-oleh. Itu juga yang selalu kami
tunggu-tunggu setiap hari. Kalau sudah masalah oleh-oleh, maka adikku Agus
biasanya yang akan membagi. Biasanya juga sih, adikku nomor dua itu membaginya
dia yang paling banyak. Sementara kami, kakak dan adiknya tinggal menerima saja
dengan pembagian oleh-oleh dari Agus. Oleh-oleh dari ibu bermacam-macam, karena
belinya kan di pasar besar. Biasanya makanan, kerupuk atau buah-buahan. Duh,
itu adalah masa-masa paling indah buatku.
(Bersambung)
0 Komentar