Orang
Tuaku, Surgaku. Ibuku, Surgaku.
Kehidupan
ini, hanyalah sementara. Sejatinya kita hidup hanya untuk beribadah kepada
Allah. Meraih surga Allah bukan perkara mudah dan tak mudah menjalaninya. Allah
telah memberikan jalan kepada kita dalam hidup kita setiap hari adalah ladang
mencari pahala Allah. Tinggal kita sebagai manusia bagaimana menjalankan
perintah Allah sesuai Alquran dan Sunnah. Mencari pahala Allah menjadi target
utama yang harus kita laksanakan dengan ikhlas, bahagia, dan istiqomah.
Dengan
banyaknya target-targetku selepas resign, tetap juga bahwa tugas utamaku adalah
suami dan anak-anakku, selain dari kewajibanku kepada Ibuku dan Mamah mertuaku.
Mereka ladang pahalaku, mereka kewajibanku sebagai seorang anak, istri, dan sebagai
ibu.
Aku
akan memulai dari Ibuku. Ibaratnya, aku yang memulai dari nol lagi, sedang
membuat check list, apa yang menjadi prioritasku saat ini. Karena, aku sadar.
Ibu dan Mamah semakin menua. Kami juga semakin menua. Ada ketakutan, waktunya
entah kapan sebentar lagi. Makanya, selagi masih ada Ibu dan Mamah, harus betul-betul
kita manfaatkan sebaik-baiknya. Memaksimalkan bakti kita kepada Ibu dan Mamah. Itu
juga yang sering aku dan suami perbincangkan.
Mereka
adalah tiket kita ke surga. Ya Allah, berilah kesehatan kepada Ibu dan Mamah
kami. Berilah keberkahan kepada usia beliau berdua. Berilah kesempatan kami untuk lebih berbakti
kepada beliau berdua, aamiin. Ampuni dosa kedua Bapak kami ya Allah, masukkan
beliau berdua ke dalam surga firdaus. Aaamin. Bapak wafat tahun 2006, sementara
Bapak mertua di Garut wafat tahun 2012. Baik orang tuaku sendiri, maupun
mertua, sama. Mertuaku adalah orang tuaku semenjak aku menikah dengan suamiku.
Jadi, tidak ada perlakuan yang berbeda kepada mertua.
Aku
berasal dari Yogya, kebetulan setelah lulus kuliah, aku merantau ke Pekanbaru. Sampai
kemudian, kudapatkan jodoh di Pekanbaru. Aku dan suami sama-sama perantau. Aku
tulis kisahku dalam Antologi Satu Cinta Dua Budaya dan Kitab Pencari Jodoh. Alhamdulillah,
asam di gunung, garam di laut, ketemunya di Pekanbaru. Hehehe.
Bapak
dan Ibu tinggal dengan kedua adik-adikku dan keluarganya. Rumah Bapak di
Kuncen, tanahnya lumayan luas ke belakang. Kedua adikku membuat rumah di
belakang rumah Bapak. Dengan kondisi tersebut, aku tidak khawatir jauh dari
kedua orang tuaku. Karena adik-adikku laki-laki yang menjaga beliau berdua.
Aku
tetap di Pekanbaru, disamping aku bekerja, aku juga mempunyai keluarga. Jadi,
setiap lebaran atau kalau ada keperluan aku pulang ke Yogya, ataupun ke Garut
tempat mertua.
Pada
tahun 1997, Bapak sakit. Ibu mengurusi Bapak selama sembilan tahun sampai
akhirnya Bapak wafat pada tahun 2006. Ma syaa Allah, ketegaran ibu mengurus
Bapak luar biasa. Rasa cinta dan sayang Ibu kepada Bapak, aku tuangkan dalam
buku Antologi Autobiografi Mozaik Memoar. Buku tersebut sudah aku kirimkan ke
Ibu, dan menjadi kebahagiaan ibu yang luar biasa. Duuh, jadi kangen sama Ibu.
Sekarang
usia Ibu sudah masuk 75 tahun. Semenjak Bapak wafat, baru ketahuan kalau Ibu
menderita beberapa penyakit. Selama ini hanya sakit maag saja yang diketahui
sewaktu Bapak sakit. Ibu ternyata menderita tekanan darah tinggi dan diabetes
juga. Diabetes dari pola makan, karena sebagai orang Yogya aku tahu kesukaan
kami dengan yang manis-manis.
Dulu,
waktu aku masih kecil, mulai dari SMP sampai selesai kuliah, setiap pagi aku
membuat teh manis sebanyak lima gelas. Untuk Bapak, Ibu, aku, dan kedua adikku.
Kebayang kan, seperti apa asupan gula kami setiap hari?
Semenjak menikah dengan suamiku yang orang
Garut, aku minumnya teh pahit. Kebiasaan mereka minum teh pahit berhubungan
juga dengan makanan khas daerah Garut yaitu dodol. Jadi, kalau minum teh manis
dan makan dodol garut, kan nggak enak, sama-sama manis.Tapi, itu juga karena
sudah sejak lama Mamah Garut menderita diabetes, bahkan sudah ada sepuluh tahun
Mamah suntik insulin dua atau tiga kali sehari. Jadi, suamiku menjaga diri
dengan tidak banyak minum atau makan yang manis-manis, karena da keturunan
penyakit diabetes.
Kembali
ke laptop. Ibu sangat disiplin kontrol sebulan sekali dan minum obat setiap
hari. Alhamdulillah, Ibu selalu sehat
dan bahagia. Ibu sosok yang kuat, lembut, dan penuh kasih sayang. Semenjak
Bapak wafat, Ibu diusahakan bisa hadir ke Pekanbaru setahun sekali. Kalau mau
mengikuti keinginan, maunya Ibu tinggal sama aku di Pekanbaru. Tapi Ibu tidak
mau, rumahnya adalah rumah Yogya, rumah yang Bapak bangun dengan susah payah.
Kalau sudah di Pekanbaru, pasti menghitung hari, kapan pulang ke Yogya. Yah,
aku sudah cukup senang, Ibu masih bisa menemani kami setahun sekali. Masih bisa
bepergian jauh. Hobi Ibu dan adik-adiknya yang perempuan sama, suka bepergian.
Alhamdulillah, beliau-beliau sehat sampai saat ini.
Ibu
juga masih aktif di Aisyah dan pengajian Ibu-ibu di masjid. Bahkan Ibu masih
mengurusi keuangan dan siapa pengisi pengajian juga. Kalau pengisi pengajian
tidak hadir, Ibu yang menggantikan. Ibaratnya, Ibu adalah pemain cadangan.
Hehehe. Kata Ibu, supaya tidak pikun Ibu
mau banyak berpikir dan menghitung-hitung keuangan Ibu-ibu itu.
Kini,
tugasku dan adik-adikku adalah memastikan Ibu sehat dan membahagiakannya. Apa
pun keperluan Ibu, kami berusaha untuk segera memenuhinya. Setelah Bapak wafat,
Ibu tinggal dengan adikku ketiga dan keluarganya. Setelah mereka pindah ke
rumah di belakang, yang menemani Ibu keponakanku, anak adikku yang nomor dua.
Memang sebenarnya antara rumah Ibu dan rumah adikku hampir dempet, setiap hari
aktivitasnya juga sana sini. Apalagi, adikku yang kedua membuka toko sembako di
belakang rumah Ibu. Mereka juga menerima pesanan kue-kue dan catering. Sering
rumah Ibu menjadi tempat menyiapkan kue-kue masuk ke dalam dus sebelum
didistribusikan.
Semenjak
anak keduaku di Yogya kuliah, dia tinggal di rumah Eyangnya. Eyang, kami memanggil
Ibu, membahasakan anak-anak kami. Eyang Kakung dan Eyang Putri atau Eyang Uti.
Alhamdulillah, jadi ada yang menemani Eyang di rumah. Tahun lalu, anakku
pertama lulus kuliah juga nggak kost lagi, tapi tinggal bersama Eyangnya juga. Jadi,
aku dan suami merasa lebih tenang, Eyang banyak yang menjaga. Anak-anakku juga
dijaga oleh Eyang dan adik-adikku.
Seumur
hidup Ibu, telah mengabdikan diri kepada Bapak, kami anak-anaknya, dan kepada
Ibunya, yaitu Simbahku. Iya, Ibu dan Bulikku semenjak kami kecil sudah membantu
Simbah berjualan di Pasar Beringharjo berjualan beras. Sampai Simbah wafat,
warung beras masih diteruskan Ibu dan Bulikku. Setelah Bapak sakit, baru Ibu
berhenti tidak berjualan lagi.
Semoga
Ibuku selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan, ya Allah. Limpahkan kasih sayangMu
kepada Ibu kami, ya Allah. Aamiin. Apa yang kami lakukan saat ini, tidak bisa
mengganti semua kebaikan, pengorbanan, dan pengabdian Ibu kepada kami anak-anakmu.
Sayang dan cinta selalu untuk Ibuku.
2 Komentar
Mba Rika berarti satu buku antologi dg Dinie Puspitasari bukan ya... saya juga baca sharing dia ttg buku ni hehe... Setuju Mba kl ibu itu tiket ke surga kita. Keramat juga bagi kita sebab doa2 beliau makbul ya. Tfs.
BalasHapusDitunggu komen baliknya ya Mba, makasih
Oh iya, mungkin. Belum dicek lagi. Karena banyak penulisnya, jadi kadang nggak ingat siapa saja yang nulis
BalasHapus